JEPARA – Masyarakat Desa Tempur Kecamatan Keling sudah cerdas. Terutama dalam mengelola hasil alam, terutama kopi, yang sangat melimpah. Para petani sudah pandai merawat tanaman kopi. lebih dari itu, sebagian penduduk juga sudah memiliki usaha penjualan kopi. Dari yang hanya menjual kopi berupa biji, bubuk, sampai mendirikan kedai kopi di desa.
Namun, di balik itu semua, ternyata ada persoalan yang cukup serius. Sebagian penduduk yang tidak begitu memiliki akses cukup baik, terjerat dalam “monopoli dagang” pengepul besar.
Sukini, salah satu petani Kopi Tempur, mengaku kebutuhannya bisa dicukupi, salah satunya dari penjualan biji kopi. Kepada pengepul, dia biasa menjual biji kopinya dengan harga di kisaran Rp 19 ribu per kilo gramnya. Harga tersebut sudah cukup besar jika dibandingkan dengan sebelum ramainya penjualan Kopi Tempur.
”Sekarang harganya sudah cukup stabil. Buat saya, harga segitu sudah cukup. Toh saya tidak perlu menjualnya sampai ke luar desa. Cukup ke pengepul. Malah kadang diambil ke rumah,” kata Sukini sewaktu memanen kopi di kebun setempat, Sabtu (5/9/2020), lalu.
Namun, harga itu dipandang beberapa pengusaha kopi masih rendah. Sebab, mestinya mereka bisa menjualnya dengan harga sekitar Rp 25 ribu sampai di atas Rp 28 ribu.
Mahfudz Ali, pengusaha Kopi Tempur yang juga penduduk asli Desa Tempur, mengaku baru sadar kalau bisnis Kopi Tempur sangatlah menggiurkan. Keuntungan dalam sekali musim panen bisa untuk modal memborong kopi pada musim berikutnya.
Ali menyebutkan, setidaknya ada sepuluh orang tengkulak kopi besar yang merupakan pemain lama. Orang-orang tersebut sudah belasan bahkan puluhan tahun memainkan peran sebagai pengepul besar. Mereka juga sudah memiliki jaringan sampai ke tengkulak-tengkulak kopi kelas berat dari berbagai daerah.
”Saya itu baru sadar beberapa tahun terakhir. Dulu, saya sama sekali tidak mengira kalau berbisnis kopi keuntungannya luar biasa. Dan memang, dari dulu sampai sekarang, Kopi Tempur masih kuasai senior-senior itu.
Dulu, kata dia, sebelum banyak orang mengerti betapa menggiurkannya bisnis kopi, para petani kopi menjual kopi mereka kepada pengepul-pengepul itu. Sebab, hanya mereka lah yang memiliki uang banyak. Mereka juga ada yang diberi suntikan modal oleh tengkulak besar dari luar daerah.
Dari tahun ke tahun, hasil panen seluruh petani nyaris mencapai 700 ton. Dari total itu, setidaknya sebelum tujuh tahunan belakangan, yang membeli hanya beberapa tengkulak senior itu saja.
”Bayangkan saja, satu tengkulak kadang bisa membeli 200 Ton biji kopi. Kalau mereka membelinya seharga Rp 19 ribu dari petani, kemudian menjualnya di atas Rp 28 ribu, untungnya sudah tidak main-main lagi,” ungkap dia.
Meskipun demikian, dia tidak sepenuhnya menyalahkan praktik monopoli dagang yang dilakukan para tengkulak itu. Sebab, biar bagaimanapun, mereka telah berjasa memasarkan kopi-kopi dari jerih payah petani.
Namun, bagi Ali, praktik dagang semacam itu tidak sepatutnya dibiarkan berlarut-larut. Sebab, petani harus benar-benar merasakan kesejahteraan dari apa yang sudah dijerih payahi. Bersama dengan beberapa pengusaha, Ali mendirikan koperasi. Tujuannya, agar petani kopi bisa mendapatkan harga tinggi.
Ali menyebutkan, harga yang ditetapkan koperasi untuk kopi dengan kualitas petik merah, yaitu minimal Rp 28 ribu per kilo gramnya. Diharapkan, koperasi ini bisa membantu para petani keluar dari monopoli dagang yang menetapkan harga paling rendah.
”Ini cara kami untuk memperbaiki sistem dagang Kopi Tempur. Petani sudah saatnya lebih sejahtera dari sebelumnya. Sebab Kopi Tempur bukan lagi sekadar kopi biasa. Tetapi sudah memiliki nilai dan daya tawar tinggi,” pungkas dia. (JHI-FQ)