JEPARA – Kemandekan perkembangan ukir di Jepara disinyalir lantaran regenerasi pengukir yang tidak berjalan dengan baik. Salah satu regenerasi yang tidak berjalan terjadi dalam pendidikan.
Kesimpulan itu mengemukan saat pertemuan antara Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jepara dengan pengerajin ukir di Jepara di ruang Rapat II Sekretariat Daerah (Setda), Senin (16/11).
Hadir dalam forum itu Lembaga Pelestari Ukir, Batik dan Tenun Jepara, akademisi serta perwakilan dari lembaga pendidikan, asosiasi di bidang industri mebel dan ukir, pelaku usah, dinas terkait serta pelestari dan sesepuh ukir di Jepara, di antaranya Sukarno, Sarno Supodo, Ali Afandi, Suhali dan Nurhadi.
Ketua Lembaga Pelestari Ukir, Tenun dan Batik Jepara Hadi Priyanto menerangkan, kondisi ukir Jepara yang selama ini menjadi ikon wilayah pesisir itu memang memprihatinkan.
Salah satu permasalahannya
”Masalah ini perlu dipecahkan jika tak ingin ukir hanya menjadi dongeng bagi generasi mendatang,” tegas Hadi. Selain sulitnya ditemukan pengukir, termasuk pengukir muda di sejumlah sentra ukir, indikasi keengganan generasi muda terhadap seni ukir bisa diketahui dari jurusan ukir di SMK 2 Jepara yang tak diminati.
Sejak diresmikan pada 2014 lalu, jurusan tersebut berhasil membuat dua kelas. ”Tahun ini satu kelas pun tak penuh,” ucapnya. Kondisi ini mengkhawatirkan
Sekolah sejak tingkat dasar hingga SMA harus ada muatan lokal mengukir. ”Tapi peraturan ini tak jalan secara sempurna,” kata Hadi. Salah satu sesepuh pengukir Jepara, Sukarno mengaku adanya manajemen perusahaan yang tidak ”ramah” terhadap pengukir membuat mereka tidak betah.
”Dengan manajemen yang masih mementingkan keuntungan sebesar-besarny
Sumber berita : Suara Merdeka