Jepara– Sejak lama, Pendapa Kabupaten Jepara memiliki nilai kesakralan yang cukup tinggi. Tidak sembarang orang bisa memasuki bangunan yang menjadi saksi perjalanan hidup keluarga Sosroningrat. Utamanya terkait dengan kehidupan R.A Kartini.
Retno Utarawati (72), ketua RT 1/RW 1 Kelurahan Panggang, rumahnya hanya berjarak sekitar sepuluh meter dari tembok belakang pendapa. Ingatannya masih cukup kuat saat diminta berkisah tentang kehidupan masyarakat Pungkuran (sebutan bagi perkampungan belakang pendapa, Red) dengan Pendapa Kabupaten Jepara. Retno juga merupakan pensiunan pegawai dinas. Dia pernah bekerja di Inspektorat selama 32 tahun, di Dinas Pencatatan Sipil selama 6 bulan, dan di Dinas Pertanian selama 3 tahun, serta pensiun pada tahun 2004.
Retno merupakan warga asli Kecamatan Mayong, namun pada tahun 1960-an dia pindah ke Jepara kota dan bekerja sebagai pegawai harian lepas di dinas keuangan. Setelah menempati rumah di Pungkuran, dia beberapa kali dilibatkan dalam acara-acara kabupaten.
Pada Tahun 1969, Retno diminta untuk mengurusi snack yang dibagikan kepada jamaah salat tarawih di serambi belakang pendapa. Saat itu. Bupati Mohadi menginisiasi salat tarawih berjamaah di pendapa kabupaten. Selain pegawai dinas, jamaah yang ikut yaitu warga Pungkuran.
”Saya masih ingat tarawih pertama di belakang pendopo (pringgitan, Red). Saya dan teman saya yang mengurusi snack. Kalau ada acara maleman (hajatan, Red), saya juga kebagian mengurusi nasi,” ingat Retno (19/10/2020).
Dulu, ujar dia, masyarakat bebas keluar masuk area pendapa. Terutama warga Pungkuran. Sebab, tidak ada pagar pembatas antara pendapa dan masyarakat. Ketika akan melewati pendapa, warga biasanya lewat pintu sebelah selatan pendapa. Pintu yang memiliki lebar sekitar 2 meter tersebut selalu terbuka selama 24 jam.
”Dulu kalau mau ke pecinan atau ke pasar, kami biasa lewat pendapa. Karena ada jalan menuju Pungkuran. Tapi kami tidak pernah masuk ke pendapa. Karena kami pikir tidak ada kepentingan apapun. Kalau lewat ya lewat saja,” kenang Retno.
Kemudian, pada tahun 1996-1998, Bupati Bambang Purwadi membangunkan musholla di depan pintu masuk pendapa sebelah selatan itu. Musholla itu sengaja dibangun supaya warga Pungkuran dan pegawai dinas bisa beribadah di sana. Karena adanya Musholla itu, bupati berencana untuk mengalihkan jamaah salat tarawih dipusatkan di Musholla. Tidak lagi di pringgitan.
Dengan berbagai pertimbangan, Retno menolak rencana tersebut. Dia menyarankan agar salat tarawih di pringgitan tetap dilaksanakan. Dan warga Pungkuran bisa memilih salat tarawih di musholla atau pringgitan.
”Saya waktu itu dipanggil bupati. Diajak musyawarah soal salat tarawih ditempatkan dimana. Tapi saya minta tetap ada salat tarawih di pringgitan. Akhirnya disetujui. Dan salat tarawih di pringgitan tetap berjalan sampai sekarang. Namun, hanya untuk pegawai-pegawai dinas saja,” kata dia.
Retno mengungkapkan, kedekatan antara warga Pungkuran dan pendapa mulai renggang pada era Bupati Soenarto. Pada waktu itu, gong milik pendapa hilang dicuri orang. Selain itu, tiga motor dinas juga raib dibawa maling. Oleh pihak tertentu, pencurinya ditengarai adalah warga Pungkuran. Alasannya, hanya warga Pungkuran yang memiliki akses pintu belakang pendapa.
”Saya bilang ke Satpol PP waktu itu, bahwa warga Pungkuran tidak pernah mengambil apapun dari pendapa. Namun, pihak pendapa bersikeras untuk menutup pintu,” ujar dia.
Tidak hanya menutup, pintu juga diberi pondasi setinggi lutut orang dewasa. Padahal, sebelumnya tanah antara pendapa dan perkampungan rata. Bahkan bisa dilewati becak. Namun, setelah kejadian itu pintu hanya dibuka selama jam kerja pegawai dinas. Meskipun demikian, sampai sekarang hubungan antara penduduk Pungkuran masih baik dengan pihak pendapa Kabupaten Jepara. (JHI-FQ)