JEPARA – Subroto, kini bisa bernafas lebih lega. Sebab upaya selama beberapa tahun untuk mengurai benang kusut persoalan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Kepulauan Karimunjawa, turut wilayah Kabupaten Jepara sudah berbuah. Kini, tak ada lagi cerita nahkoda kapal kayu milik nelayan pengangkut BBM dari daratan Jepara menuju Kepulauan Karimunjawa yang ditangkap dan dijadikan tersangka oleh jajaran Polda Jateng seperti yang pernah dialami salah seorang warga Jepara bernama Buseri, pada Juli tahun 2013.
Tak ada lagi berita kapal kayu nelayan pengangkut BBM yang terbakar dan meledak seperti yang pernah dialami Kapal Motor (KM) Jasa Laut beberapa waktu lalu. Semrawutnya tata niaga BBM jatah Kepulauan Karimunjawa yang terjadi selama bertahun-tahun juga berhasil ditekan. Dan paling penting lagi, selain stok lebih terjaga, harga BBM di kepulauan yang ada di Laut Jawa ini sama dengan harga di wilayah daratan Jepara atau wilayah lain di Provinsi Jawa Tengah. Memang, masih ada selisih harga, namun itu di tingkat pengecer yang lokasinya berada di pulau-pulau (desa) kecil berpenghuni di Kepulauan Karimunjawa. Sedang di “pulau besar” Karimunjawa harga BBM yang dijual di Agen Penyalur Minyak Solar (APMS) atau SPBU setempat sesuai dengan harga yang ditetapkan Menteri ESDM.
“Penduduk Karimunjawa juga merupakan warga Jepara. Idealnya, meski tinggal di wilayah kepulauan namun mereka juga harus mendapat pelayanan dan fasilitas yang sama dengan warga pada umumnya,” kata mantan Wakil Bupati Jepara periode 2012 – April 2017 ini.
Kepulauan (Kecamatan) Karimunjawa lokasinya terpisah dari daratan Jepara. Kepulauan yang ada di Laut Jawa ini terdiri dari 27 pulau. Dari sekian pulau itu, hanya ada lima pulau saja yang dihuni oleh penduduk. Yakni Pulau Karimunjawa (Desa Karimunjawa dan Kemojan). Pulau (Desa) Parang, Genting, Nyamuk. Sedang puluhan lainnya masih kosong. Ada yang dipakai hanya untuk penangkaran ikan, mutiara dan lainnya.
Selama bertahun-tahun persoalan terkait BBM jatah sekitar 10 ribu warga Kepulauan Karimunjawa memang beragam. Mulai dari tak adanya armada pengangkut yang spesifikasinya sesuai ketentuan regulasi plus ramah lingkungan, tidak jelasnya penyalur BBM baik bersubsidi maupun non subsidi yang direkomendasi instansi pemerintah terkait, melambungnya harga melebihi harga eceran tertinggi (HET), membengkaknya kuota BBM yang diduga “merembes” ke hal-hal yang bukan peruntukannya dan lain sebagainya.
Harga solar misalnya, pada tahun 2013 mestinya hanya Rp4.500 per liter. Namun, jika sampai di Kepulauan Karimunjawa harga BBM bersubsidi jatah nelayan ini bisa melambung hingga Rp7.000 per liter. Bahkan di kawasan pulau-pulau berpenghuni lain di Kepulauan Karimunjawa harganya bisa lebih tinggi lagi.
Hal ini terjadi lantaran BBM itu diangkut menggunakan kapal kayu milik nelayan. Tentu saja, muncul ongkos transportasi, ongkos kuli angkut dan sederet biaya lainnya sehingga melambungkan harga BBM yang sudah ditetapkan HET-nya tersebut.
Praktek ini juga memicu membengkaknya kuota BBM Karimunjawa melebihi dari kebutuhan yang semestinya. Berdasar catatan, tahun 2013, BBM bersubsidi jenis solar yang diangkut kapal kayu yang diklaim jatah nelayan Karimunjawa bisa mencapai 170 kiloliter (KL) per bulan. Padahal waktu itu, permintaan dari Karimunjawa hanya 144 KL solar saja. Praktis, ada 26 KL solar bersubsidi yang tak jelas juntrungannya.
Disinyalir membengkaknya kuota itu karena permainan pihak-pihak tertentu yang mengambil keuntungan dari BBM bersubsidi tersebut. Rembesan solar bersubsidi itu diduga mengalir ke sejumlah usaha kategori non UMKM di Kepulauan Karimunjawa yang memang menjadi salah satu destinasi wisata andalan Jawa Tengah yang tiap tahunnya dikunjungi puluhan ribu turis domestik maupun mancanegara ini.
Padahal mestinya, para pengusaha itu dilarang menggunakan solar bersubsidi yang peruntukannya memang sudah diatur dengan jelas.
“Hal-hal seperti ini tidak boleh dibiarkan. Makanya waktu itu kita mendorong agar Pertamina turun tangan. Salah satu caranya agar ada SPBU atau istilah lain agar persoalan BBM di Karimunjawa bisa terus diurai,” tuturnya.
Agen Penyalur Minyak Solar (APMS) akhirnya beroperasi di Karimunjawa. Bahkan Jumat (13/10/2017) lalu, “statusnya” tak lagi APMS, namun sudah menjadi SPBU Kompak 46.594.02 setelah diresmikan oleh Bupati Jepara Ahmad Marzuqi. Hadir dalam peresmian ini General Manager PT Pertamina MOR IV Jawa Tengah – DIY Ibnu Chouldun dan pejabat terkait.
SPBU Kompak inilah yang menampung BBM yang didistribusikan kapal Pertamina untuk jatah warga kepulauan di Laut Jawa ini.
Kehadiran SPBU di Karimunjawa butuh perjalanan panjang. Sebab awalnya bisnis pengelolaannya di Kepulauan Karimunjawa ternyata tidak diminati para investor. Alasannya, kuota BBM baik jenis solar maupun premium bersubsidi (kini pertalite) atau jenis lainnya di Karimunjawa dinilai terlalu minim sehingga untuk balik modal atau meraup keuntungan, butuh waktu lama.
Pemkab Jepara sudah menawarkan proposal investasi pembangunan SPBU di wilayah Karimunjawa kepada sejumlah investor. Namun waktu itu, tidak ada satu pun investor yang berminat menanamkan investasinya di kepulauan yang ada di Laut Jawa tersebut.
Ada sejumlah alasan “penolakan” yang dikemukakan para investor tersebut. Mulai belum adanya kapal tanker pengangkut BBM menuju Karimunjawa, hingga minimnya kuota BBM jatah Karimunjawa.
Menurut Subroto, dalam hitungan bisnis, pembangunan SPBU di Karimunjawa memang tidak menguntungkan. Sebab butuh waktu lama untuk mengembalikan modal investasi pembangunan SPBU yang diperkirakan memakan biaya besar.
Padahal juga ada kebutuhan bayar gaji pegawai dan operasional lainnya. Investor juga dihadapkan dengan persoalan penyusutan aset, kerusakan alat dan lain sebagainya.
“Butuh waktu bertahun-tahun agar bisa balik modal. Makanya ini memang tidak masuk hitungan bisnis,” ujarnya.
Tapi kini mimpi beroperasinya SPBU di Karimunjawa sudah menjadi nyata. Meskipun, buah manis yang kini dirasakan warga Karimunjawa ini melalui jalan berliku. Selain upaya tak kenal lelah Pemkab Jepara, Pemprov Jawa Tengah juga turun tangan sehingga Pertamina “tergerak” berpartisipasi aktif menangani persoalan itu.
Salah satunya dengan “janji” menyediakan kapal tanker untuk mendistribusikan BBM ke Karimunjawa yang sebelumnya diangkut kapal kayu milik nelayan. Sekira pertengahan tahun 2017 ini, BBM jatah Karimunjawa sudah diangkut kapal dari Pertamina. Yakni kapal besi SPOB Salim yang biaya pengoperasiannya sekitar Rp4 miliar per tahun. Kapal ini diklaim memiliki standar keamanan tinggi untuk mengangkut BBM.
Seiring hal itu, urusan harga hingga stok BBM baik untuk kebutuhan rumah tangga, nelayan hingga pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) yang ada di Kepulauan Karimunjawa tak lagi ada masalah.
Saat pengiriman pertama, kapal dari Pertamina mengangkut 72 kiloliter (KL) BBM sesuai permintaan dari Karimunjawa. Itu terdiri dari 32 KL pertalite dan 40 KL biosolar. Rata-rata konsumsi BBM di Karimunjawa per hari sekitar 1,5 KL per hari untuk jenis pertalite, dan solar rata-rata sebanyak 2,5 KL.
Namun kini, jumlah yang dipasok terus melonjak tergantung permintaan dan kapasitas tangki SPBU tersebut. Terlebih, rencananya, kapasitas daya tampung tanki timbun SPBU di Karimunjawa akan diperbesar. Salah satu alasannya, sebagai langkah antisipasi jika terjadi cuaca buruk di Perairan Karimunjawa (Laut Jawa) yang berpotensi menganggu distribusi BBM kapal Pertamina.
“Alhamdulillah saat ini persoalan terkait BBM relatif tak ada masalah. Kehadiran kapal Pertamina cukup signifikan mengurai persoalan energi di sini,” jelas Sekretaris Kecamatan (Sekcam) Karimunjawa, Nor Soleh Eko Prasetyawan.
Soleh menambahkan, pihaknya juga tak perlu ribet lagi mengurusi BBM untuk PLTD sejumlah pulau berpenghuni di Karimunjawa. Jika sebelumnya pihaknya harus mendatangkan BBM dengan kapal kayu milik nelayan, kini cukup mengambil dari SPBU yang ada di Karimunjawa. BBM itu bisa langsung didistribusikan untuk menghidupkan PLTD yang menjadi sumber energi listrik bagi warga Pulau Parang, Nyamuk dan Genting.
“PLTD itu masih kita fungsikan. Sebab listrik dari PLN memang belum bisa menjangkau sejumlah pulau itu. Masih ada sekitar 5000 pelanggan yang mengandalkan listrik PLTD. Sebelumnya 35 ribu pelanggan tapi sudah berkurang setelah ada listrik dari PLN,” jelas Soleh yang juga Manajer PLTD Karimunjawa ini.
Pernyataan serupa juga diungkapkan Kepala Desa (Pulau) Parang, Zaenal Arifin. Padahal jarak tempuh Pulau Parang dengan Pulau Karimunjawa sekitar dua jam perjalanan menggunakan kapal kayu nelayan.
Kebutuhan BBM di Pulau Parang dalam satu bulan, sekitar 9000 liter biosolar dan 300 liter pertalite.
Untuk harga biosolar, menurut Arif bahkan kini malah lebih murah dibanding tahun-tahun sebelumnya. Harga tiap liter biosolar kini Rp6.500, padahal sebelumnya Rp7.000. Sedang harga pertalite di tempat pengecer, mencapai Rp10 ribu per liter. Harga pertalite memang terkesan lebih mahal jika dibanding harga jika membeli di SPBU Karimunjawa. Namun menurut Arif, hal itu juga bisa dimaklumi. Sebab pertalite itu didatangkan dengan kapal kayu nelayan dari SPBU di Karimunjawa. Selain itu, di Pulau Parang, pertalite memang dijual eceran dan “dikemas” dalam satu botol minuman ringan ukuran 1 liter. Namun isinya penuh hingga persis tutup botol minuman ringan tersebut.
“Jadi semisal diukur, Rp10 ribu itu 1 liter lebih. Ini sudah tergolong murah, sebab dulu harga premium (sebelum pertalite) di Pulau Parang bisa mencapai Rp11 ribu – Rp12 ribu per liter. Maklum saja memang ada ongkos untuk biaya transport kapal kayu nelayan,” papar Arif.
Manajer Humas Pertamina Area Jawa Bagian Tengah dan DIY, Andar Titi Lestari mengatakan jajarannya berkomitmen untuk memberikan pelayanan maksimal kepada warga Karimunjawa. Baik terkait stok maupun harga BBM.
Untuk keamanan, selain menyiapkan kapal tanker, pihaknya juga mengoperasikan truk tanki. Sebab distribusi dari kapal ke SPBU menggunakan truk tanki tersebut. Praktis, kini, BBM yang ada di atas kapal langsung diangkut dengan truk tanki, tak lagi menggunakan drum-drum seperti yang selama ini berjalan.
“Jadi unsur safety benar-benar kita prioritaskan,” ucap Andar.
Lazimnya, pada bulan-bulan tertentu cuaca buruk kerap melanda Perairan Karimunjawa (Laut Jawa). Akibatnya, berbagai aktivitas baik operasional kapal barang maupun penumpang dari dan menuju Kepulauan Karimunjawa lumpuh. Semisal saat musim baratan yang biasanya berlangsung November – awal Februari.
Terkait persoalan ini, kata Andar pihaknya akan terus berkoordinasi dengan BMKG Jateng untuk memantau cuaca di Laut Jawa. Pihaknya sebenarnya yakin jika kapal besi SPOB Salim memiliki standar keamanan beroperasi dalam kondisi apapun. Namun jika pihak-pihak terkait merekomendasikan agar pelayaran tak dijalankan saat cuaca buruk, Pertamina akan mengikuti.
Untuk langkah antisipasi, pihaknya melakukan build up stock di SPBU Karimunjawa. Yakni melakukan peningkatan kapasitas tangki timbun pertalite dari yang semula 30 KL menjadi 50KL. Sedang untuk biosolar, disiapkan SPOB (self propelled oil barge)sebagai floating storage yang kapasitasnya bisa mencapai 150 KL.
“Jadi ada upgrading. Ini kita lakukan untuk antisipasi cuaca buruk yang terjadi di Laut Jawa,” kata Andar.
General Manager PT Pertamina MOR IV Jateng – DIY, Ibnu Chouldun mengatakan jajarannya berkomitmen dan mengupayakan ketersediaan BBM agar tak ada lagi persoalan energi di Karimunjawa. Pihaknya optimis upaya yang dilakukan jajarannya berimbas positif munculnya BBM satu harga di kepulauan yang ada di Laut Jawa tersebut.
“Itu adalah progam yang dicanangkan Presiden Joko Widodo,” tandas Ibnu.
Bupati Jepara, Ahmad Marzuqi mengapresiasi peresmian SPBU Kompak 46.594.02 di Kepulauan Karimunjawa. Pihaknya juga optimis harga BBM di Karimunjawa sama dengan harga di daratan Jepara.
“Ini juga sangat mendukung kegiatan usaha di sini. Ujung dari proses ini semoga bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” harap Marzuqi.
Penulis :Muhammad Olis