JEPARA – Suhu di ponsel menunjukkan angka 21 derajat Celsius saat pagi masih buta. Sekitar pukul 05.10 WIB Desa Tempur masih diselimuti kabut tebal. Tak ada cahaya matahari yang menembus celah-celah kabut itu. Tak seperti biasanya, pagi itu, hawa dingin pegunungan yang biasanya sampai menusuk tulang sama sekali tak terasa. Memakai kaos oblong lengan pendek pun sama sekali tak terasa dingin.
Pada saat yang sama, beberapa penduduk setempat mulai beraktifitas. Dengan mengenakan pakaian serba panjang, mereka menyusuri jalan terjal yang masih lengang. ”Lungo mek kopi nyang ndi, yu? (mau pergi panen kopi kemana, mbak?),” terdengar obrolan penduduk dari arah kampung bawah. Beberapa petani menggendong wakul yang nampak berisi karung, air mineral, dan arit. Mereka berangkat menuju kebun untuk memanen kopi.
Sejak awal Agustus lalu, masyarakat Desa Tempur memang mulai disibukkan dengan panen kopi. Biasanya, panen raya berlangsung selama tiga bulan (Agustus-Oktober). Pada masa panen inilah masyarakat Desa Tempur memanen kopi yang sudah masyhur di berbagai daerah itu.
Sekitar pukul 06.15 WIB, Premiatun (64), salah satu petani, mulai menyiapkan piranti untuk memanen kopi. Perlengkapannya tak jauh beda dengan para petani yang lebih pagi menuju kebun kopi. Pagi itu adalah jadwalnya untuk memanen kopi di kebun yang tak jauh dari rumahnya. Dengan diantar oleh anaknya, hanya butuh waktu dua menit untuk sampai ke kebunnya.
”Alhamdulillah isih kuat dipaneni sepisan maneh (masih bisa dipanen sekali lagi),” ucap Mbok Premiatun setibanya di kebun. Dia sangat gembira melihat kopi-kopinya masih bisa dipanen. Sebelumnya, dia sudah memanen kopi itu dua kali.

Dalam sekali panen, dia biasa mengambilnya minimal lima kali. Namun, musim ini hanya bisa dia lakukan tiga kali. Sebab, kemarau panjang tahun lalu mengakibatkan pohon kopi tak bisa tumbuh subur. Bahkan, tak sedikit pula pohon yang tidak bisa bertahan hidup. Beruntung, pohon-pohon kopi miliknya tidak sampai mati. Hanya saja, buah kopinya tidak sebanyak biasanya.
”Rata-rata petani pada rugi. Kopine ora iso gembel kaya biyen-biyen. Malah, akeh sing wite mati mergo kepanasen (Rata-rata petani merugi. Buah kopinya tidak sebanyak yang dulu-dulu. Malahan, banyak yang pohonnya mati karena kepanasan),” ujar Mbok Premiatun sambil memetik buah kopi yang masih tersisa.
Secara umum, tekstur tanah di perkebunan kopi Tempur memang tak begitu subur. Struktur tanah yang berupa campuran batu kerikil, batu padas, dan tanahnya cenderung kering. Masyarakat setempat menyebutnya dengan tanah grosok.
Kondisi tersebut diperparah dengan adanya kemarau panjang tahun lalu. Air menjadi barang cukup sulit di kebun kopi. Bahkan, sungai kecil yang berada persis di bawah kebun Mbok Premiatun pun kering. Sama sekali tak ada sumber air yang mengalir.
Anwar, petani kopi lainnya, mengakui adanya penurunan hasil panen musim ini. Dari sekitar 1.900 meter persegi lahannya yang biasanya mampu menghasilkan sepuluh karung kopi, tahun ini hanya mampu mencapai lima karung saja.
Terkait dengan kondisi tanah, menurut Anwar, sejak dulu memang para petani selalu kesulitan saat musim kemarau. Letak geografisnya yang berada di pegunungan ternyata tidak membuat kopi bisa tumbuh di tempat air yang melimpah.
Untuk mengatasi supaya kopi tetap hidup meskipun tak ada air mengalir, para petani menanam pohon-pohon besar di kebun kopi. Pohon-pohon seperti randu dan sengon ditanam dengan harapan bisa menyimpan cadangan air ketika musim penghujan. Sehingga, saat musim kemarau seperti saat ini, pohon kopi masih bisa terairi dari cadangan tersebut.
”Pohon kopi kan sifatnya tidak bisa menyimpan air. Sehingga sangat rentan mati ketika musim kemarau panjang,” jelas Anwar.
Berdasarkan catatan Pemerintah Desa Tempur, biasanya setiap kali musim panen, total yang dihasilkan para petani tak kurang dari 700 ton. Itupun masih ada hasil panen yang belum tercatat pemerintah. Pada musim yang masih berjalan ini, diprediksi hanya akan menghasilkan separuh dari hasil tahun-tahun sebelumnya.
Sejak nenek moyang, kata Anwar, mayoritas masyarakat Desa Tempur memang sudah menanam kopi. Namun, mereka hanya sekadar menanam dan mengurus dengan ala kadarnya. Setidaknya, dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, para petani mulai sadar bahwa Kopi Tempur memiliki nilai lebih tinggi.
”Para petani sekarang sudah pintar-pintar. Mulai dari segi perawatan sampai penjualannya. Masyarakat menjadi lebih sejahtera sejak nilai Kopi Tempur mulai tinggi,” sambung dia. (JHI-FQ)