JEPARA – Budi Mulyo (45), terlihat sibuk merapikan lekuk-lekuk replika miniatur bus Scania yang sedang digarapnya dengan beberapa bilah alat ukir dan bobok. Proses itu berulang kali dilakukannya. Mulai dari sisi kiri, kanan, depan, belakang, atas dan bawah replika miniatur bus yang beberapa waktu lalu sempat menghebohkan negeri ini. Penyandang tuna daksa ini ingin hasil karya yang “sempurna” sesuai harapannya.
Proses merapikan bus berukuran panjang 80 cm, lebar 20 cm dan tinggi 25 cm itu bisa memakan waktu sehari bahkan lebih. Masih ada sejumlah proses lain yang harus dilakukan seperti mengamplas, penyemprotan cat hingga penempelan aksesoris agar hasil karya warga berkebutuhan khusus asal Kabupaten Jepara ini layak dipasarkan. Rata-rata Budi membutuhkan waktu sekitar satu bulan untuk menghasilkan satu unit replika miniatur bus telolet.
Budi tergolong kreatif. Ia memanfaatkan kayu limbah produk mebel, ukir dan furnitur yang memang menjadi andalan penggerak roda ekonomi di Kabupaten Jepara. Praktis, selama aktivitas mebel Jepara yang sudah diekspor ke ratusan negara masih eksis, maka akan selalu tersedia kayu “kepelan” yang bisa dimaksimalkan Budi untuk menunjang proses kreatifnya.
Selama belasan tahun Budi memang sudah akrab dengan aktivitas ukir dan mebel. Tapi selama itu pula, ia hanya “buruh” yang bekerja pada pengusaha besar mebel di kawasan Tahunan, Jepara. Namun sejak dua tahun terakhir, ia memberanikan diri banting stir. Dengan modal seadanya, ia memilih membuka usaha sendiri pembuatan kerajinan berbahan dasar kayu. Selain replika miniatur bus, ia juga membuat sejumlah souvenir lain seperti tempat bulpen, asbak, miniatur rumah joglo atau mobil balap ferrary F1.
Khusus replika miniatur bus telolet, hingga kini sudah ada lima unit yang dihasilkan Budi. Beberapa diantaranya ada yang dibeli pengusaha, politisi hingga Ihwan Sudrajat yang beberapa bulan lalu didapuk sebagai Plt Bupati Jepara.
Ihwan Sudrajat yang kini menjabat Kepala Badan Pengelola Pendapatan Daerah Provinsi Jawa Tengah merogoh kocek hingga Rp4 juta untuk bus telolet Budi. Namun uang itu juga tak semuanya masuk ke kantong Budi. Sebab ia harus berbagi dengan Rofik, rekannya sesama penyandang disabilitas yang pintar elektronik asal Kecamatan Mlonggo.
Rofik yang memasang aksesori dan audio sehingga replika miniatur bus Scania Budi mirip dengan aslinya.
“Kita saling mengisi sesuai keahlian masing-masing. Dan saya angkat jempol untuk orang-orang yang mau mengapresiasi hasil karya penyandang disabilitas,” kata Budi Mulyo saat ditemui di rumahnya, di Desa Pecangaan Kulon, Kecamatan Pecangaan, Kabupaten Jepara, Jumat, 21 Oktober 2017.
Budi Mulyo merupakan Koordinator Bina Akses Jepara. Lembaga ini menaungi sekitar 250 warga berkebutuhan khusus usia produktif antara 17 – 60 tahun yang tersebar di belasan kecamatan di Kabupaten Jepara. Mayoritas anggotanya adalah penyandang tuna daksa karena polio seperti yang dialami Budi sendiri. Tapi ada juga yang tuna rungu wicara dan tuna netra.
Bina Akses Jepara dipelopori Budi bersama tiga rekannya pada tahun 2004. Setelah melalui jalan berliku, lembaga ini dinyatakan sah berbadan hukum pada tahun 2011. Namun tak secara otomatis stempel “resmi” itu langsung berbuah manis. Budi dan rekan-rekannya masih harus berjuang agar keberadaan penyandang disabilitas dikenal publik. Salah satu caranya dengan mengadakan audiensi dengan Bupati Jepara baru hasil pilkada tahun 2012. Proses serupa juga dilakukan dengan lembaga-lembaga lainnya.
“Perlahan tapi pasti Bina Akses Jepara beserta ratusan anggotanya mulai diakui eksistentinya oleh pemerintah dan masyarakat Jepara,” ucapnya.
Sebagian besar anggota Bina Akses Jepara tercatat sudah berkeluarga. Bahkan banyak juga yang sudah memiliki anak. Namun urusan perekonomian keluarga, mayoritas anggota tergolong menengah ke bawah. Hanya beberapa saja yang masuk kategori hidup “standar” alias pas-pasan.
Keterbatasan fisik diakui Budi turut berkontribusi dalam “kemiskinan” tersebut. Meski begitu, Budi selalu menekankan agar penyandang disabilitas terus berupaya maksimal melawan kemiskinan tersebut.
Salah satu caranya dengan menekuni usaha atau jasa sendiri. Sektor pekerjaan informal itu dinilai lebih ramah untuk penyandang disabilitas. Kini, mayoritas anggota Bina Akses Jepara mengandalkan hidup dari “bekerja” di sektor itu. Ada yang tukang kayu atau ukir, penjahit, penenun, pedagang kaki lima (PKL), tukang servis elektronik, tukang pijat tuna netra dan lain sebagainya.
Setahun terakhir, ada beberapa anggota Bina Akses Jepara yang bisa bekerja di sektor formal seiring masuknya investasi dan berdirinya sejumlah pabrik di Jepara dalam beberapa waktu terakhir. UU No 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas memang mengamanatkan perusahaan swasta wajib mempekerjakan para penyandang disabilitas dengan kuota minimal 1 % dari total karyawan.
“Tapi anggota yang bekerja formal bisa dihitung dengan jari. Karena memang mayoritas hanya lulusan SD dan SMP/Sederajat. Sedang lulusan SMA/Sederajat sangat sedikit. Kalau lulusan sarjana malah tidak ada,” jelas Budi yang merupakan alumni SMA Bhakti Praja Mayong (sekarang SMA 1 Mayong, Jepara) ini.
Secara umum, kata Budi Pemkab Jepara sudah aspiratif dengan warga berkebutuhan khusus. Hal itu bisa dilihat dari adanya layanan publik khusus atau pembangunan infrastruktur (jalur) khusus untuk penyandang disabilitas seperti yang ada di kawasan sekitar Pasar Jepara I atau Alun-alun Jepara.
Pemkab juga sudah memfasilitasi bantuan dana hibah untuk penyandang disabilitas hingga pelatihan berbagai ketrampilan baik mengukir, membatik, pembuatan anyaman, pijat dan lain sebagainya.
Namun progam pemberdayaan atau pengentasan kemiskinan bagi penyandang disabilitas dari sejumlah instansi pemerintah lingkup Pemkab Jepara itu masih terkesan berjalan sendiri-sendiri. Belum terlihat sinergi antarlembaga sehingga hasilnya lebih maksimal untuk mengatrol nasib warga berkebutuhan khusus di Kota Ukir.
“Semisal saja dinas memang sudah mengajak kami pelatihan ketrampilan hingga akhirnya bisa menghasilkan karya dalam berbagai bentuknya. Tapi kami harus berjuang sendiri untuk memasarkan atau mengakses pasar yang mau menampung. Contoh lain pernah kami diajak ikut pameran, tapi malah disarankan agar yang dipajang adalah buatan perajin nondisabilitas karena dinilai lebih bagus. Lalu karya kami mau dipamerkan dimana agar bisa dikenal lebih luas, kalau caranya seperti ini,” ujarnya.
Budi berharap Pemkab Jepara benar-benar menjadi bapak angkat bagi warga berkebutuhan khusus, dalam berbagai aspek kehidupan. Setidaknya untuk hal-hal dasar terkait pelayanan kesehatan atau pendidikan anak-anak warga berkebutuhan khusus. Sebab hingga kini, hanya sedikit anggota Bina Akses Jepara yang tercover Kartu Indonesia Sehat (KIS) atau Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang dicanangkan pemerintah pusat.
“Apakah pendataannya tak maksimal atau bagaimana? Padahal banyak warga berkebutuhan khusus yang masuk kategori miskin. Kondisi serupa juga dialami lembaga disabilitas lain seperti Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Pertuni, TRW dan lainnya,” harapnya.
Berdasar data, angka kemiskinan absolut (kategori sangat miskin, miskin, hampir miskin dan rentan miskin) di Kabupaten Jepara mencapai 40 % atau 523.256 jiwa. Sedang khusus kategori sangat miskin mencapai angka 8,35 % dari total penduduk Jepara.
Kabupaten Jepara termasuk daerah yang tingkat kemiskinannya disoroti oleh Gubernur Jateng Ganjar Pranowo. Saat pelantikan Ahmad Marzuqi dan Dian Kristiandi sebagai Bupati – Wakil Bupati Jepara periode 2017 – 2022 yang digelar Mei 2017 lalu, Ganjar Pranowo bahkan menitipkan instruksi khusus agar kepala daerah Jepara yang baru dilantik melakukan langkah terobosan untuk menekan angka kemiskinan di wilayahnya.
Persoalan kemiskinan juga disoroti secara khusus oleh kalangan wakil rakyat di Kota Ukir. Hal itu bahkan disampaikan secara langsung dalam Rapat Paripurna Istimewa DPRD Kabupaten Jepara dengan agenda Penyampaian Keputusan DPRD tentang Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Bupati Jepara Tahun 2016 yang digelar 2 Juni 2017.
Kalangan dewan menyoroti ihwal tidak rincinya data kemiskinan di Jepara. Data kemiskinan masih disajikan secara global. Tidak ada data detail mulai tingkat bawah semisal level RT, RW, dukuh, desa atau kelurahan dan kecamatan.
Wakil Ketua DPRD Jepara, Pratikno mengatakan belum adanya data kemiskinan yang terperinci berimbas pada tidak jelasnya target pengentasan warga miskin tersebut. Padahal untuk mengolah data tersebut tidak sulit dan ada anggarannya. Pemkab juga bisa memaksimalkan peran RT, RW dan seterusnya agar data tersebut detail, rinci dan valid.
“Semisal data rumah tidak layak huni (RTLH) sebanyak 61 ribu di Jepara. Kalau datanya rinci maka pengentasan kemiskinan lebih terukur. Jadi jelas tiap tahun mau dientaskan berapa, lalu target tuntas berapa tahun, dimulai dari kawasan mana dan seterusnya,” sesal Pratikno.
Kalangan DPRD, kata Pratikno akan menekankan hal itu saat pembahasan RPJMD Jepara. Pihaknya ingin sejumlah kendala terkait pengentasan kemiskinan ditekan. Pemkab juga didorong fokus pada sasaran tertentu. Semisal RTLH hingga adanya prioritas bagi penyandang disabilitas yang mayoritas tergolong kategori miskin.
“Harus ada sinergi lintas sektoral juga. Ini penting agar kegiatan pengentasan kemiskinan dari berbagai instansi pemerintah terpadu dan fokus,” harapnya.
Sementara itu, Kepala Bappeda Jepara Edy Sujatmiko mengatakan jajarannya menggelar berbagai langkah terkait pengentasan kemiskinan di Kota Ukir. Urusan data, akhir tahun ini ada sosialisasi progam Metode Pendataan Modern (MPM). Progam yang dimulai 2018 itu digadang-gadang mampu menghasilkan data kemiskinan yang lebih valid dan rinci. Pihaknya menekankan kepada tim pendata agar benar-benar turun ke lapangan sehingga nanti progam yang bakal dikucurkan pemerintah tepat sasaran.
Pihaknya juga mendorong progam pengentasan kemiskinan berbagai instansi pemerintah lingkup Pemkab Jepara terpadu dan lintas sektoral. Menurutnya, ada banyak instansi yang terlibat baik secara langsung maupun tak langsung. Untuk instansi yang terkait secara langsung dengan pengentasan kemiskinan seperti Dinsospermades, Diskop UMKM, Disperindag, Dinas Perikanan, Dinas Permukiman, Dinkes, Disdukcapil, DP3KA2KB, KKP, Dinas Pertanian dan Peternakan dan lain sebagainya.
Sedang yang tidak terkait langsung seperti Dinas PU dan Disparbud Jepara. Logikanya, kata Edy akan ada multiplier efek yang imbasnya untuk mengurangi kemiskinan dari pembangunan infrastruktur tersebut.
“Jadi arahnya tetap itu. Urusan data sebenarnya saat ini sudah by name. Tapi akan terus diperbaiki agar lebih rinci dan valid,” terangnya.
Angka kemiskinan di Jepara ditargetkan terus turun tiap tahunnya. Khusus untuk kategori sangat miskin ditargetkan hingga tahun 2022, angkanya hanya tinggal kisaran 7,4 % – 8,32 %. Untuk RTLH yang saat ini mencapai 61 ribu buah, ditarget menyusut hingga 21 % pada lima tahun mendatang.
“Angka kemiskinan di Jepara itu sudah di bawah Provinsi Jateng. Jadi sebenarnya agak susah juga menurunkan lag,” jelas Edy.
Meski belum memiliki data rinci warga miskin dari kalangan penyandang disabilitas, namun menurut Edy Pemkab Jepara juga menaruh perhatian khusus kategori ini. Progam bantuan baik berupa hibah dana hingga pelatihan ketrampilan sudah diplot di sejumlah instansi. Saat ini, juga sudah ada progam berobat gratis hanya bermodal KTP untuk pasien kelas III. Jika masih ada penyandang disabilitas yang belum tercover KIS maka bisa menggunakan progam itu. Mereka juga bisa didaftarkan sebagai peserta BPJS yang iurannya ditanggung pemerintah.
“Penentuan kategori miskin sulit makanya kita berharap warga terlebih penyandang disabilitas agar mendaftarkan dirinya. Pengurus RT hingga kepala desa juga kita imbau berperan aktif saat pendataan berjalan,” tandas Edy.
Penulis : Muhammad Olis