JEPARA – Sejak lama, kopi di Pegunungan Muria memang sudah masyhur ke berbagai antero negeri ini. Kopi Tempur berhasil menembus pasar kopi nasional. Namun, baru beberapa tahun terakhir saja masyarakat menyadari bahwa selama ini mereka “menanam emas” di daratan tertinggi Kabupaten Jepara itu.
Data Pemerintah Desa Tempur pada 2019, luas lahan tegalan atau kebun ada sekitar 1.678 hektare area. Untuk itu, hampir 95 persen penduduk Desa Tempur berprofesi menjadi petani kopi.
Anwar, salah satu petani Kopi Tempur, mengatakan dia mulai menanam kopi sekitar tahun 1994 lalu. Beberapa lahannya yang berada di lereng Gunung Sapto Argo ditanami kopi. Namun, kopi yang ditanam hanya kopi lokal. Masyarakat, termasuk Anwar, tidak begitu mementingkan varietas kopi yang ditanam.
”Sing penting nandur kopi urip iso panen dadi duit (Yang penting menanam kopi bisa tumbuh, bisa panen dan jadi uang: Red),” ujar Anwar saat memanen kopi (5/9/2020) lalu.
Selama belasan tahun, Anwar tidak begitu paham varietas kopi yang dia tanam merupakan jenis Robusta yang memiliki nilai jual tinggi. Memiliki ketinggian sekitar 800 Mdpl, membuat Kopi Robusta Tempur memiliki cita rasa yang khas.
Meskipun di lereng pegunungan Muria banyak tumbuh kopi Robusta, Kopi Tempur dinilai banyak ahli kopi memiliki keunggulan tersendiri. Sebab, posisi kebun kopi di Tempur berada di kawah gunung. Sedangkan, desa-desa lain yang juga terdapat Kopi Robusta, cenderung berada di lereng gunung.
Sekitar tahun 2010-an, Anwar dan sejumlah petani mulai sadar bahwa Kopi Tempur memiliki keunggulan tersendiri. Dengan perlahan, para petani mulai membenahi cara merawat kopi mereka. Kopi-kopi lokal yang belasan tahun tumbuh diganti dengan varietas baru. Yaitu Robusta dan Arabika.
”Awalnya memang cukup rumit menerapkan pola perawatan baru. Dari masa tanam hingga bisa panen, butuh waktu empat tahun,” kata dia.
Perawatan kopi semakin ditingkatkan Anwar. Dia lebih teliti dalam menjaga pertumbuhan pohon kopi. Dalam setahun, dia selalu memupuk pohon kopi sebanyak dua kali. Sementara itu, setelah masa panen (Agustus-Oktober), ranting-ranting yang sebelumnya menghasilkan buah harus dipotong. Dia harus memastikan buah kopi yang tumbuh tahun berikutnya harus dari ranting paling muda.
”Umumnya umur pohon kopi bisa sampai 10 tahun. Tapi, kalau perawatannya bagus, umurnya bisa lebih panjang dari itu,” ujar Anwar.
Dari Kopi Tempur, Anwar mengaku merasakan betul kesejahteraan hidup. Bahkan, hanya menjadi petani kopi, dia bisa menyekolahkan dua anaknya sampai perguruan tinggi. Sebab, dengan sadarnya para petani, Kopi Tempur memiliki nilai jual yang jauh dari yang dulu-dulu. Saat ini, harga per kilogram wos kopi berkisar di harga Rp 19 ribu hingga Rp 23 ribu.
Bahkan, kata dia, para petani tidak harus mencari pembeli sampai ke luar desa. Karena, di Desa Tempur sendiri sudah ada beberapa pengepul kopi yang terhubung langsung dengan tengkulak-tengkulak besar di luar desa.
”Saiki mung kari panen, njereng, nyelepke dadi wos, terus diparani bakul (Sekarang tinggal panen, menjemur, menyelepnya hingga jadi biji kopi tanpa kulit, kemudian didatangi pengepul),” imbuh dia.
Merasakan kesejahteraan bersama
Tak jauh dari kebun kopi milik Anwar, para penduduk banyak yang menjemur kopi di halaman rumah, di kebun, di lapangan, atau di atap rumah. Ada yang masih basah. Tapi tak sedikit pula yang sudah kering berwarna kehitaman. Tanda kopi sudah siap diselep dan dikuliti.
Dari jalan utama, terlihat perempuan tua sedang menjemur kopi di lapangan. Tubuhnya sudah tak tegak lagi. Sambil membawa wakul berisi kopi basah, Ngateri (71) menebarkan kopi itu di tempat yang sudah dia sediakan sebelumnya.
”Kula namung kuli (Saya hanya buruh),” celetuk Ngateri dengan senyum ramah khas orang desa.
Ngateri mengaku hanya mempunyai kebun kopi yang biasanya menghasilkan dua karung saja. Jika ditimbang, dalam sekali musim panen, kebunnya menghasilkan 2 kwintal kopi saja. Beda dengan penduduk lain yang bisa menghasilkan puluhan ton Kopi Tempur.

Namun, hal itu sama sekali tidak menjadi persoalan bagi Ngateri. Dia tetap bersyukur dengan hasil yang diberikan Tuhan. Untuk mencukupi kebutuhannya, setiap kali musim panen, dia selalu menjadi langganan para petani kopi untuk menyeleksi kopi dan menjemurnya. Tugasnya yaitu menyortir kopi yang berwarna merah, hijau, dan kopi lanang. Setelah itu dia bertugas menjemurnya sampai kering.
”Njereng kopi yen panas ya 4 dina wis garing (Menjemur kopi kalau cuacanya panas hanya butuh 4 hari saja sudah kering),” ujar Ngateri.
Ngateri menyebutkan, biasanya dia dibayar Rp 50 ribu per harinya. Dia mengaku sangat senang menjalaninya. Sebab, di usia senja, dia masih bisa bekerja dan menikmati hasil alamnya sendiri. Yang kini menjadi sumber utama kesejahteraan baginya dan penduduk Desa Tempur. (JHI-FQ)